Akhir yang Diakhiri
Kepada kamu yang sempat singgah dan menyenangkanku,
Terimakasih telah mengijinkanku mencintaimu. Seperti hujan ditengah kemarau, kau hadir menghapus kering yang sudah lama terbiarkan. Betapa bahagianya aku, perasaan yang sudah lama aku pendam pada saatnya dapat terutarakan.
Kamu merentangkan tangan, menyediakan pelukan yang sejak lama aku dambakan. Aku berlarian penuh semangat menuju dada yang sangat aku ingin untuk membenamkan kepala. Senyumku mengembang, mataku berbinar, dan jantungku berdegup tak beraturan. Kau tau, aku sungguh-sungguh bahagia.
Masih dengan langkah kaki yang mengayun ke arahmu, aku bernyanyi suka dengan lagu bertema cinta. Kuselipkan namamu pada nada-nada yang aku senandungkan, berulang kali hingga semesta bingung kenapa lirik lagu yang ada tergantikan oleh namamu semua.
Pada perjalanan yang sedang aku lakukan, banyak suara yang membisingkan telinga. Aku tak tau darimana saja sumbernya, tapi itu sangat membisingkan. Beberapa suara tertangkap telinga, mengatakan bahwa aku tak seharusnya berlarian sebegitu semangatnya. Ada pula suara yang mebunyikan untuk aku berhenti melangkah.
Dari sekian banyak suara-suara yang beradu, entah menghardik, melemahkan, menjatuhkan, memberi dukungan, menyemangati, dan menyelamati. Suara perasaan lebih keras terdengar menggebu-gebu mengalahkan kekacauan yang ada. Aku hanya mendengar yang hatiku katakan, tak peduli suara bergemuruh sialan itu.
Hingga pada suatu titik, aku merasa begitu letih dan sakit. Kukurangi kecepatan lariku, kecil-kecil dan masih menuju ke arahmu. Kutengok bawah, kutemukan kakiku sudah lebam dan berdarah. Sebegitu semangatnya aku, sampai-sampai aku lupa memakai sandal. Hehe kamu tidak usah khawatir, aku baik-baik saja.
Aku masih melanjutkan perjalanankau. Kulihat kamu masih di ujung sana. Entah perasaanku saja atau bagaimana, mengapa semakin aku menuju semakin kamu terlihat jauh. Tangan yang tadinya merentang tak terlihat lagi seperti siap memberikan pelukan. Aku sempat bingung apa yang sedang kamu lakukan di ujung sana.
Keyakinanku sedang melemah, entah kenapa kamu pun tak terlihat menguatkan. Dan, aku bergelut dengan pikiranku sendiri. Logika mulai mengatakan hal-hal yang jahat. Dia bilang, kalau memang ada niat bersama mengapa hanya aku saja yang bergerak, sedang kamu diam di ujung sana tak ada tindakan. Jahat sekali si logika ini.
Aku masih meyakini perasaanku. Tapi, si logika semakin tak karuan. Dia bilang kalau kamu memang tak berniat denganku. Dia bilang kalau aku tidaklah bermakna di matamu. Semakin aneh sekali si logika ini.
Kudapati kamu sudah tidak ada di ujung sana, kamu menghilang. Aku semakin khawatir sebenarnya apa yang terjadi. Aku belum mengerti apa yang salah dari perjalanan ini. Kuhentikan langkahku, bukan karena aku berhenti mencintaimu. Tapi karena aku bingung, kemana tempat yang harus aku tuju sedang kamu sudah tidak ada di depanku.
Menghela napas, mengusap keringat, dan membalut luka yang tadi kudapat. Sembari mengistirahatkan perasaan dan logika, aku mencari-cari di mana kamu berada.
Lalu, aku melihat sosok yang sedari tadi aku pikirkan. Kamu, ya kamu yang berlarian memenuhi ingatan. Kamu terlihat berdiri gagah di ujung sana. Kudengar suaramu memanggil namaku.
Beberapa kata yang kamu ucapkan setelahnya membuatku terheran-heran. Kau memintaku untuk berhenti. Mengakhiri semua yang aku lalui. Aku tak mengerti. Pikiranku sudah tak karuan, perasaanku hancur berantakan. Dan kulihat kamu sudah menghilang tanpa memberi sebuah kejelasan.
Aku semakin hancur dan hancur. Bagaimana bisa, kisah yang belum genap kita rangkai sudah harus kandas. Dan bagaimana bisa kamu se-tega itu?
Jika memang dari awal kamu tak ada niat untuk bersama, jangan memberi harapan! Seharusnya kamu lebih tau bagaimana kamu bersikap sehingga aku tak menjatuhkan hati terlalu dalam. Jika sudah begini aku bisa apa? Sementara luka kujahit sendiri. Dan kamu? entah, mungkin harimu sedang bersemi dengan kisah-kisah yang lain.
Sedalam-dalamnya perasaan, aku kecewa.
Jurangmangu, 22 Maret 2019
Alifia
Komentar
Posting Komentar